Senin, 21 Maret 2011

Internal Kontrol

Internal Kontrol
PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk telah tenggelam bersama 48 bank yang dibekukakan operasi dan kegiatan usahanya semacam Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik konglomerat Sjamsul Nursalim. Namanya hampir mirip, tetapi nasibnya berbeda. BDNI dikubur seumur hidup oleh pemerintah, dan mewajibkan pemegang saham yang melanggar BMPK menandatangani perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS). Maka Nursalim yang empunya BDNI harus menyerahkan aset senilai Rp28 triliun ke negara. Para direksi dan komisaris pun tak leluasa lagi bergerak di sektor perbankan. Tetapi BNI diputuskan hidup terus dengan suntikan obligasi rekapitalisasi Rp61,78 triliun dua kali yaitu pada 7 April 2000 dan 30 Juni 2000. Jumlah suntikan dana tersebut sedikit lebih banyak dibandingkan suntikan untuk Bank BCA yaitu Rp60,87 triliun. Suntikan obligasi itu setara dengan jumlah kredit macet yang dialihkan bank berlogo perahu layar itu ke BPPN. Berbeda dengan Anthony Salim yang harus menyerahkan 107 perusahaan ke BPPN untuk melunasi utang, berhubung BNI dan bank BUMN lain milik negara, beban kredit macet tadi dianggap beban negara juga. Tak sampai di situ, tak ada direksi BUMN yang masuk daftar orang tercela (DOT) untuk mengurus bank, karena terbukti sejumlah direksi bank BUMN kini pun bagian dari penyakit masa lalu. Di masa lalu, kendati namanya bank BUMN, milik negara, bank BNI seperti juga bank plat merah lainnya, dikuasai segelintir konglomerat saja. Tanpa harus memiliki bank, mereka dapat mengendalikan bank itu melalui tangan kekuasaan, kerabat orang penting, kerabat presiden, anak presiden, anak menteri dan seterusnya. Contoh kredit macet yang paling spektakuler di BNI, tentu saja kredit untuk Texmaco Group. Bersama BRI dan EXIM (kini Mandiri), BNI mengalihkan kredit macet senilai hampir Rp30 triliun dari kelompok ini saja ke BPPN. Bahkan salah satunya sempat bikin huru-hara politik yaitu fasilitas preshipment hampir US$600 juta. Adalah Menneg BUMN Laksamana Sukardi yang membongkar soal ini pada 2000 hingga sesaat setelah pemecatan dirinya oleh Gus Dur. Bahkan kendati persoalan ini sampai ke Kejaksaan Agung, hanya dalam kurang dari satu bulan, terbitlah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bagi Texmaco. BNI juga pernah memimpin sindikasi pinjaman modal kerja US$112 juta untuk PT Chandra Asri Petrochemical Center (CAPC) milik Prajogo Pangestu, Bambang Trihatmodjo dkk yang kemudian macet dan dialihkan ke BPPN. Itu adalah beberapa contoh kecil saja. Ringkasnya kredit macet model begini mencapai Rp61,78 triliun yang diganti obligasi rekap. APBN setiap tahun harus membayar bunga obligasi rekap ini sekitar Rp6 triliun. *Kasus L/C* Baru tiga tahun berlalu, masyarakat dikejutkan dengan kasus fasilitas wesel ekspor Rp1,7 triliun ke Gramarindo dan Petindo. Jumlahnya memang tampak tak seberapa dibandingkan kredit ke Texmaco. Tetapi fakta bahwa fasilitas itu terancam macet sebagian besar di antaranya membuat perahu BNI bocor. Manajemen telah memutuskan pencadangan kerugian Rp941 miliar yang mengakibatkan anjloknya laba bersih BNI per 30 September 2003. Letter of credit atau sering disingkat L/C merupakan instrumen keuangan yang diterbitkan oleh suatu bank dan menjamin pembayaran wesel nasabah bank dengan jumlah dan jangka waktu tertentu. Instrumen ini menggantikan kredit pembeli oleh kredit dari bank dan meniadakan risiko penjual. Begitu transaksi L/C bermasalah terkuak, publik bertanya-tanya bagaimana mungkin direksi tidak tahu menahu. Pertanyaan ini wajar mengingat jumlah yang begitu besar dan potensi kerugian yang juga tak kalah besarnya. Dirut BNI Saifuddien Hasan beralasan pencairan wesel ekspor sebesar itu kepada eksportir tidak bisa dilakukan secara langsung (Rp1,7 triliun). Pencairan hanya bisa dilakukan setelah dokumen ekspor lengkap-termasuk dokumen pengapalan, yang dalam kasus BNI terjadi hingga 105 kali. Namun, cara itu bukanlah tanpa cacat, sebab sesuai aturan yang berlaku internasional, bank tidak berkewajiban memverifikasi apakah ekspor benar-benar terjadi (deal only document). Di sinilah muncul dugaan, sebagian ekspor yang dilakukan kelompok Gramarindo dan Petindo adalah fiktif. Apalagi data aliran dana dari Gramarindo menunjukkan sebagian besar dana masuk ke PT Sagared (kelompok Gramarindo) yaitu Rp62 miliar dan US$26,88 juta serta 1,5 juta euro. Menurut data Bisnis, Sagared memang sedang menjajaki penambangan marmer di Kupang, tetapi hingga Agustus 2003 (setelah seluruh dana L/C dicairkan), pemerintah daerah belum memberikan izin penambangan karena belum melakukan studi analisis dampak lingkungan. Penerima terbesar lainnya, PT Oenam Marble (Rp56 miliar dan US$31 juta) juga tidak jelas kegiatannya. Pada saat yang sama kantor cabang punya wewenang yang terbatas dalam pencairan wesel ekspor. Dalam kasus BNI, sebagaimana diungkapkan salah satu direkturnya Binsar Pangaribuan, kantor cabang hanya punya wewenang persetujuan US$2 juta-US$3 juta. Sayangnya, batasan wewenang cabang yang dimaksudkan untuk meminimalisir risiko operasi ini dimanfaatkan secara cerdik oleh Gramarindo dan Petindo. Bersama beberapa pejabat cabang BNI Kebayoran Baru, mereka mencairkan wesel ekspor hingga 105 kali. Itu artinya, rata-rata pencairan wesel ekspor hanya Rp16 miliar atau setara US$1,9 juta. Masuk akal juga jika direksi BNI mengaku tidak tahu menahu sampai L/C mulai jatuh tempo karena pencairan masih di bawah kendali kantor cabang. Namun, hal itu bukan alasan yang cukup bagi direksi untuk tidak bertanggungjawab. Skandal L/C kali ini juga menyempurnakan rapor merah internal kontrol Bank BNI. Bank Indonesia sudah lama mengenal kontrol internal bank satu ini memang kedodoran. Bahkan sebelum kasus LC keluar, BNI telah menanggung malu dan rugi akibat NCD Palsu yang dibikin karyawannya untuk mengelabuhi Bank Sinta dan BPD Bali. Deal NCD dengan total Rp245 miliar jelas-jelas tercatat dalam RTGS yang difasilitasi Bank Indonesia, tapi tak sepeserpun uang itu masuk ke buku bank. Bank BNI pun terpaksa harus nomboki uang kedua bank itu, sambil memenjarakan beberapa karyawannya sekaligus memperoleh pengembalian dari aset-aset yang disita. Dalam kasus L/C BNI masuk pada lubang yang sama. Masih saja dengan internal kontrol yang lemah dan karyawan dengan integritas kedodoran. Memang persoalan integritas ini bukan monopoli BNI. Bahkan untuk Bank Mandiri yang mengklaim telah memiliki sistem kontrol internal lebih baik, berkali-kali kebobolan antara lain karena integritas SDM yang rendah. Di Tanjung Priok, Bank Mandiri harus memecat sedikitnya 20 pejabat terkait tindakan pembobolan semacam ini. Naga-naganya dengan terkuaknya kasus ini, tak akan banyak membantu bank itu dalam mengejar aset-aset para eksportir yang terlanjur menikmati kucuran wesel ekspor. Perlu juga diingat, pada kasus NCD, BNI hanya mampu menarik recovery sekitar 50%, sehingga hampir bisa dipastikan sisanya tercatat sebagai rugi. Sementara untuk kasus L/C, BNI hanya mampu menarik dana sekitar Rp570 miliar, sementara Rp315 miliar sudah default, dan sisanya sekitar Rp1 triliun masih ditunggu dengan harap-harap cemas karena belum jatuh tempo. Dalam satu kesempatan, manajemen Bank BNI mengungkapkan tengah menempuh cara-cara hukum dan bisnis agar uangnya bisa kembali. Dari sisi hukum, kepolisian memang telah menetapkan sebelas tersangka tiga diantaranya pejabat cabang Kebayoran Baru, dan sisanya para ekportir. Perintah cekal terhadap para tersangka yang masih di luar bui masih ditunggu efektifitasnya. Begitu pun proses hukum akan mendapat ujian berat. Sebab sejumlah indikasi awal menunjukkan bahwa para penerima manfaat (beneficiary) dari transaksi L/C Rp1,7 triliun itu ternyata orang yang pernah membobol Bank Pacific pada era 1990-an. Saat itu, Bank Pacific meninggalkan utang Rp2 triliun kepada Bank Indonesia yang entah karena alasan apa justru memperbesar kepemilikan sahamnya dari 38% menjadi 51%. Uniknya saat itu, BI menugaskan tim manajemen BNI untuk membenahi bank yang semula dikelola Endang Utara Mokodompit, putri mantan petinggi Pertamina, Ibnu Sutowo. Toh, saat itu semuanya lolos begitu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar